Rabu, 16 November 2011
Tokoh Ulama' Sufi dalam Parti Pas
✿ ܓMengenang Semula Tokoh Ulamak Sufi dalam PARTI ISLAM SEMALAYSIA PAS Frof Dr Burhanuddin Al-Helmy "Dari segi amalan peribadinya, beliau bersungguh-sungguh mengerjakan kewajipan sebagai seorang Islam, banyak berzikir dan kerap mengalirkan air mata apabila beliau menginsafi kekerdilan manusia dalam hubungan dengan Penciptanya. Beliau gemar mengamalkan sembahyang tahajud di waktu dinihari dan pengikut setia Tariqat Na’Syabandiah. (Saliha, 1997:22)
==>"Bukan sahaja org pas tak tahu, tak kenal dan jahil tentang Frof Dr Burhanuddin Al-Helmy, malahan banyak para pemimpin pas yg tak kenal dgn Beliau, jgn kenal dirinya sahaja, tapi kenali aqidahnya, mazhabnya & toriqah Sufinya dlm memperjuangkan Islam dan memerdekan Tanah Melayu dari Penjajah Yahudi & Nasara. Kita kena bangunkan satu tempat pengajian ditempat kelahirannya berasaskan ajaran ASWJ bermazhablkan Syafie dan Bertoriqah Sufi, mudahan beliau mendapat Rahmat & Keampunan dari Allah Taala & RasulNya"<==
~Pro Dr Burhanuddin Helmy "Kemudian setelah saya siasati kedatangan Islam ke Nusantara kita ini dan datuk nenek kita memeluk agama Islam yang hanif (yang lurus-peny.) ini terutamanya kesan-kesannya ialah daripada ‘ulama’-‘ulama’ Syafi‘i dan ‘ulama’-‘ulama’ tasawwuf, sama ada ‘ulama’-‘ulama’ itu datang secara saudagar atau secara muballigh; bukan masuk melalui ‘ulama-‘ulama’ fiqh, Islam masuk di Nusantara kita ini berkembang tidak dengan kekerasan atau paksa tetapi dengan kemahuan hati dan pilihan jua yang dapat mengatasi agama Hindu dan Buddha [se]bagaimana yang diperjuangkan oleh Wali Songo di Jawa dan lain-lain kepulauan maka beransur-ansur nampaklah saya kesenian ilmu tasawwuf".
Sila rujuk risalah ‘Simposium Tasauf Dan Tariqat’ oleh Pro Dr Burhanuddin terbitan Maktabah Haji Abdullah bin Mohd Nordin Ar-Rawi Pulau Pinang, cetakan pertama 1966.
»-»-»-»- »-»-»-»- »-»-»-»- »-»-»-»- »-»-»-»- »-»-»-»- »-»-»-»- »-»-»-»-
❀ ܓ Dr Burhanuddin seorang ahli sufi walaupun beliau tidak pernah mengatakan bahawa beliau seorang ahli sufi. Hal ini dinyatakan oleh seorang rakan seperjuangan beliau dengan menyebut:
""Sepanjang hayat saya, saya belum pernah lagi berjumpa dengan orang-orang yang berkebolehan seperti Dr Burhanuddin. Ramai yang sufi tetapi tidak pula alim bahasa, ramai pula orang alim bahasa tetapi bukan pula ahli pol
itik, ramai orang ahli politik tetapi bukannya orang sufi, ada juga agaknya orang yang ahli bahasa merangkap ahli politik tetapi bukannya seorang doktor perubatan, dan doctor jiwa atau, mungkin ada memiliki segala-galanya yang dimiliki oleh Dr Burhanuddin umpamanya tetapi tidak serendah hati beliau terhadap semua manusia"". (Majid Saleh, 1991:5-6) Dr Burhanuddin Al-Helmy Rahimahullah.
>>> Kata2 dari mulut pejuang Islam yg hakiki dan bertoriqah Sufi.. "Janganlah lemah ahli-ahli Tariqat Sufiah meneruskan jihad di tengah-tengah masyarakat kebendaan yang perlu disiram dengan siraman jiwa tauhid dan sufiah" Bukan jiwa salafiah yg Maghrur dari yahudi.....◕‿◕
سبحان الله وبحمده،سبحان الله العظيم
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم —
Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=240062479389420&set=a.141452389250430.29848.100001570088525&type=1&ref=nf - Klik
Jumaat, 28 Oktober 2011
HABIB 'ALI AL- JUFRI
HABIB ALI AL- JUFRI...
Habib Ali Al-Jufri lahir di kota Jeddah, Arab Saudi, menjelang fajar, pada hari Jum’at 16 April 1971 (20 Shafar 1391 H). Ayahnya adalah Habib Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi Al-Jufri, sedangkan ibundanya Syarifah Marumah binti Hasan bin Alwi binti Hasan bin Alwi bin Ali Al-Jufri.menimba ilmu dari para tokoh besar. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf adalah salah seorang guru utamanya. Kepadanya ia membaca dan mendengarkan pembacaan kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tajrid Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, dan kitab-kitab penting lainnya. Cukup lama Habib Ali belajar kepadanya, sejak usia 10 tahun hingga berusia 21 tahun.juga berguru kepada Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, ulama terkemuka dan penulis karya-karya terkenal. Di antara kitab yang dibacanya kepadanya adalah Idhah Asrar `Ulum Al-Muqarrabin. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki juga salah seorang gurunya. Kepadanya ia mempelajari kitab-kitab musthalah hadits, ushul, dan sirah. Sedangkan kepada Habib Hamid bin Alwi bin Thahir Al-Haddad, ia membaca Al-Mukhtashar Al-Lathif dan Bidayah Al-Hidayah.Ia pun selama lebih dari empat tahun menimba ilmu kepada Habib Abu Bakar Al-`Adni bin Ali Al-Masyhur, dengan membaca dan mendengarkan kitab Sunan Ibnu Majah, Ar-Risalah Al-Jami`ah, Bidayah Al-Hidayah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, Tafsir Al-Jalalain, Tanwir Al-Aghlas, Lathaif Al-Isyarat, Tafsir Ayat Al-Ahkam, dan Tafsir Al-Baghawi.
Pada tahun 1412 H (1991 M) Habib Ali mengikuti kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Shan`a, Yaman, hingga tahun 1414 H (1993 M).
Kemudian ia menetap di Tarim, Hadhramaut. Di sini ia belajar dan juga mendampingi Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz sejak tahun 1993 hingga 2003. Kepadanya, Habib Ali membaca dan menghadiri pembacaan kitab-kitab Shahih Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, Adab Suluk Al-Murid, Risalah Al-Mu`awanah, Minhaj Al-`Abidin, Al-`Iqd An-Nabawi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, Al-Hikam, dan sebagainya.
Selain kepada mereka, ia pun menimba ilmu kepada para tokoh ulama lainnya, seperti Syaikh Umar bin Husain Al-Khathib, Syaikh Sayyid Mutawalli Asy-Sya`rawi, Syaikh Ismail bin Shadiq Al-Adawi di Al-Jami` Al-Husaini dan di Al-Azhar Asy-Syarif, Mesir, juga Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim. Di samping itu, Habib Ali juga mengambil ijazah dari 300-an orang syaikh dalam berbagai cabang ilmu.
Sumber:
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=182751728474837&set=a.100939869989357.1629.100002200323263&type=1&ref=nf
Jumaat, 21 Oktober 2011
Riwayat Hidup Habib Munzir Al-Musawa.
Saudaraku yg kumuliakan,
saya adalah seorang anak yg sangat dimanja oleh ayah saya, ayah saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yg lain, namun dimasa baligh, justru saya yg putus sekolah, semua kakak saya wisuda, ayah bunda saya bangga pada mereka, dan kecewa pada saya, karena saya malas sekolah, saya lebih senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar bin Hud Alalttas, dan Majelis taklim kamis sore di empang bogor, masa itu yg mengajar adalah Al Marhum Al Allamah Alhabib Husein bin Abdullah bin Muhsin Alattas dg kajian Fathul Baari.
sisa hari hari saya adalah bershalawat 1000 siang 1000 malam, zikir beribu kali, dan puasa nabi daud as, dan shalat malam berjam jam, saya pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda malu.
ayah saya 10 tahun belajar dan tinggal di Makkah, guru beliau adalah Almarhum Al Allamah Alhabib Alwi Al Malikiy, ayah dari Al Marhum Al Allamah Assayyid Muhammad bin Alwi Al Malikiy, ayah saya juga sekolah di Amerika serikat, dan mengambil gelar sarjana di New york university.
almarhum ayah sangat malu, beliau mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia, beliau berkata pada saya : kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa apa dari kebanggaan orang yg sangat menyanjung negeri barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dg kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu.
maka ayahanda almarhum hidup dalam kesederhanaan di cipanas, cianjur, Puncak. Jawa barat, beliau lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak anaknya, mengajari anak2nya mengaji, ratib, dan shalat berjamaah.
namun saya sangat mengecewakan ayah bunda karena boleh dikatakan : dunia tidak akhiratpun tidak.
namun saya sangat mencintai Rasul saw, menangis merindukan Rasul saw, dan sering dikunjungi Rasul saw dalam mimpi, Rasul saw selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau saw, dan berkata wahai Rasulullah saw aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa dg mu.., ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini,,, Rasul saw menepuk bahu saya dan berkata : munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa dg ku.., maka saya terbangun..
akhirnya karena ayah pensiun, maka ibunda membangun losmen kecil didepan rumah berupa 5 kamar saja, disewakan pada orang yg baik baik, untuk biaya nafkah, dan saya adalah pelayan losmen ibunda saya.
setiap malam saya jarang tidur, duduk termenung dikursi penerimaan tamu yg cuma meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis dan shalat malam demikian malam malam saya lewati,
siang hari saya puasa nabi daud as, dan terus dilanda sakit asma yg parah, maka itu semakin membuat ayah bunda kecewa, berkata ibunda saya : kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada satu yg gagal, ibu tak mau percaya pada ucapan itu, tapi apakah ucapan itu kebenaran?.
saya terus menjadi pelayan di losmen itu, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.
sampai semua kakak saya lulus sarjana, saya kemudian tergugah untuk mondok, maka saya pesantren di Hb Umar bin Abdurrahman Assegaf di Bukit duri jakarta selatan, namun hanya dua bulan saja, saya tidak betah dan sakit sakitan karena asma terus kambuh, maka saya pulang.
ayah makin malu, bunda makin sedih, lalu saya prifat saja kursus bahasa arab di kursus bahasa arab assalafi, pimpinan Almarhum Hb Bagir Alattas, ayahanda dari hb Hud alattas yg kini sering hadir di majelis kita di almunawar.
saya harus pulang pergi jakarta cipanas yg saat itu ditempuh dalam 2-3 jam, dg ongkos sendiri, demikian setiap dua kali seminggu, ongkos itu ya dari losmen tsb.
saya selalu hadir maulid di almarhum Al Arif Billah Alhabib Umar bin Hud alattas yg saat itu di cipayung, jika tak ada ongkos maka saya numpang truk dan sering hujan hujanan pula.
sering saya datang ke maulid beliau malam jumat dalam keadaan basah kuyup, dan saya diusir oleh pembantu dirumah beliau, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yg kotor dan basah menginjaknya, saya terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu tamu berdatangan, maka saya duduk dil;uar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.
saya sering pula ziarah ke luar batang, makam Al Habib husein bin Abubakar Alaydrus, suatu kali saya datang lupa membawa peci, karena datang langsung dari cipanas, maka saya berkata dalam hati, wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang wali Mu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tapi uangku pas pasan, dan aku lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang..,
maka saya memutuskan beli peci berwarna hijau, karena itu yg termurah saat itu di emperan penjual peci, saya membelinya dan masuk berziarah, sambil membaca yaasin utk dihadiahkan pada almarhum, saya menangisi kehidupan saya yg penuh ketidak tentuan, mengecewakan orang tua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh, mereka berkata : kakak2mu semua sukses, ayahmu lulusan makkah dan pula new york university, koq anaknya centeng losmen..
maka saya mulai menghindari kerabat, saat lebaranpun saya jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh.
walhasil dalam tangis itu saya juga berkata dalam hati, wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yg shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang..,
lalu dalam saya merenung, datanglah rombongan teman teman saya yg pesantren di Hb Umar bin Abdurrahman Assegaf dg satu mobil, mereka senang jumpa saya, sayapun ditraktir makan, saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah..
lalu saya ditanya dg siapa dan mau kemana, saya katakan saya sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu saya saja di pasar sawo, kb Nanas Jaksel, mereka berkata : ayo bareng saja, kita antar sampai kebon nanas, maka sayapun semakin bersyukur pada Allah, karena memang ongkos saya tak akan cukup jika pulang ke cipanas, saya sampai larut malam di kediaman bibi dari Ibu saya, di ps sawo kebon nanas, lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun pulang ke cipanas..
tak lama saya berdoa, wahai Allah, pertemukan saya dg guru dari orang yg paling dicintai Rasul saw, maka tak lama saya masuk pesantren Al Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi timur, dan setiap saat mahal qiyam maulid saya menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul saw, dan dipertemukan dg guru yg paling dicintai Rasul saw, dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pd 1994.
selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dg tajam.., saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu.., lalu saat beliau sudah naik ke mobil bersama almarhum Alhabib Umar maula khela, maka Guru Mulia memanggil Hb Nagib Bin Syeikh Abubakar, Guru mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke Tarim Hadramaut yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau,
Guru saya hb Nagib bin syeikh abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin beliau salah pilih..?, maka guru mulia menunjuk saya, itu.. anak muda yg pakai peci hijau itu..!, itu yg saya inginkan.., maka Guru saya hb Nagib memanggil saya utk jumpa beliau, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yg pintunya masih terbuka : siapa namamu?, dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak faham, maka guru saya hb Nagib menjawab : kau ditanya siapa namamu..!, maka saya jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum..
keesokan harinya saya jumpa lagi dg guru mulia di kediaman Almarhum Hb bagir Alattas, saat itu banyak para habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid guru mulia, maka guru mulia mengangguk angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu beliau berkata pada almarhum hb umar maula khela : itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.., ia yg pakai peci hijau itu..!,
guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya hb Nagib bin syekh abubakar, seraya berkata : wahai munzir, kau harus siap siap dan bersungguh sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap..
dua bulan kemudian datanglah Almarhum Alhabib Umar maula khela ke pesantren, dan menanyakan saya, alm hb umar maulakhela berkata pada hb nagib : mana itu munzir anaknya hb Fuad almusawa?, dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya, maka hb nagib berkata saya belum siap, namun alm hb umar maulakhela dg tegas menjawab : saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini pernintaan AL Habib Umar bin Hafidh, ia harus berangkat dlm dua minggu ini bersama rombongan pertama..
saya persiapkan pasport dll, namun ayah saya keberatan, ia berkata : kau sakit sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke hadramaut itu ayah tak ada kenalan, disana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit?, siapa yg menjaminmu..?,
saya pun datang mengadu pd Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar bin hud Alattas, beliau sudah sangat sepuh, dan beliau berkata : katakan pada ayahmu, saya yg menjaminmu, berangkatlah..
saya katakan pada ayah saya, maka ayah saya diam, namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan saya berangkat, saat saya mesti berangkat ke bandara, ayah saya tak mau melihat wajah saya, beliau buang muka dan hanya memberikan tangannya tanpa mau melihat wajah saya, saya kecewa namun saya dg berat tetap melangkah ke mobil travel yg akan saya naiki, namun saat saya akan naik, terasa ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh disana ayah saya berdiri dipagar rumah dg tangis melihat keberangkatan saya…, beliau melambaikan tangan tanda ridho, rupanya bukan beliau tidak ridho, tapi karena saya sangat disayanginya dan dimanjakannya, beliau berat berpisah dg saya, saya berangkat dg airmata sedih..
saya sampai di tarim hadramaut yaman dikediaman guru mulia, beliau mengabsen nama kami, ketika sampai ke nama saya dan beliau memandang saya dan tersenyum indah,
tak lama kemudian terjadi perang yaman utara dan yaman selatan, kami di yaman selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati, kamipun harus berjalan kaki kemana mana menempuh jalan 3-4km untuk taklim karena biasanya dg mobil mobil milik guru mulia namun dimasa perang pasokan bensin sangat minim
suatu hari saya dilirik oleh guru mulia dan berkata : Namamu Munzir.. (munzir = pemberi peringatan), saya mengangguk, lalu beliau berkata lagi : kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak…!.
maka saya tercenung.., dan terngiang ngiang ucapan beliau : kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak…?, saya akan punya jamaah?, saya miskin begini bahkan untuk mencuci bajupun tak punya uang untuk beli sabun cuci..
saya mau mencucikan baju teman saya dg upah agar saya kebagian sabun cucinya, malah saya dihardik : cucianmu tidak bersih…!, orang lain saja yg mencuci baju ini..
maka saya terpaksa mencuci dari air bekas mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yg mengalir itulah yg saya pakai mencuci baju saya
hari demi hari guru mulia makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, saya tinggalkan pelajaran demi bakti pada guru mulia membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau.
[i]2 tahun di yaman ayah saya sakit, dan telepon, beliau berkata : kapan kau pulang wahai anakku..?, aku rindu..?
saya jawab : dua tahun lagi insya Allah ayah..
ayah menjawab dg sedih ditelepon.. duh.. masih lama sekali.., telepon ditutup, 3 hari kemudian ayah saya wafat..
saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dg beliau.. dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan sambil mengalirkan airmata.., duhai,, kalau saya tahu itulah terakhir kali saya melihat beliau,., rahimahullah..[/i]
tak lama saya kembali ke indonesia, tepatnya pada 1998, mulai dakwah sendiri di cipanas, namun kurang berkembang, maka say mulai dakwah di jakarta, saya tinggal dan menginap berpindah pindah dari rumah kerumah murid sekaligus teman saya, majelis malam selasa saat itu masih berpindah pindah dari rumah kerumah, mereka murid2 yg lebih tua dari saya, dan mereka kebanyakan dari kalangan awam, maka walau saya sudah duduk untuk mengajar, mereka belum datang, saya menanti, setibanya mereka yg cuma belasan saja, mereka berkata : nyantai dulu ya bib, ngerokok dulu ya, ngopi dulu ya, saya terpaksa menanti sampai mereka puas, baru mulai maulid dhiya’ullami.., jamaah makin banyak, mulai tak cukup dirumah rumah, maka pindah pindah dari musholla ke musholla,. jamaah makin banyak, maka tak cukup pula musholla, mulai berpindah pindah dari masjid ke masjid,
lalu saya membuka majelis dihari lainnya, dan malam selasa mulai ditetapkan di masjid almunawar, saat itu baru seperempat masjid saja, saya berkata : jamaah akan semakin banyak, nanti akan setengah masjid ini, lalu akan memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya Allah.. jamaah mengaminkan..
mulailah dibutuhkan kop surat, untuk undangan dlsb, maka majelis belum diberi nama, dan saya merasa majelis dan dakwah tak butuh nama, mereka sarankan majelis hb munzir saja, saya menolak, ya sudah, majelis rasulullah saw saja,
kini jamaah Majelis Rasulullah sudah jutaan, di Jabodetabek, jawa barat, banten, jawa tengah, jawa timur, bali, mataram, kalimantan, sulawesi, papua, singapura, malaysia, bahkan sampai ke Jepang, dan salah satunya kemarin hadir di majelis haul badr kita di monas, yaitu Profesor dari Jepang yg menjadi dosen disana, dia datang keindonesia dan mempelajari bidang sosial, namun kedatangannya juga karena sangat ingin jumpa dg saya, karena ia pengunjung setia web ini, khususnya yg versi english..
sungguh agung anugerah Allah swt pada orang yg mencintai Rasulullah saw, yg merindukan Rasulullah saw…
itulah awal mula hamba pendosa ini sampai majelis ini demikian besar, usia saya kini 38 tahun jika dg perhitungan hijriah, dan 37 th jika dg perhitungan masehi, saya lahir pd Jumat pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 februari 1973 M.
perjanjian Jumpa dg Rasul saw adalah sblm usia saya tepat 40 tahun, kini sudah 1431 H,
mungkin sblm sempurna 19 Muharram 1433 H saya sudah jumpa dg Rasul saw, namun apakah Allah swt akan menambah usia pendosa ini..?
Wallahu a’lam
salam rindu terdalam untuk anda.
Oleh: Surya Elbanjari
Khamis, 6 Oktober 2011
Apa Maksud Jika Sesuatu Hadith Itu Sahih Maka Itulah Mazhabku
Apa Maksud Jika Sesuatu Hadith Itu Sahih Maka Itulah Mazhabku ("إذا صح الحديث فهو مذهبي ") ?
Oleh : Ustaz Nazrul Nasir
Beberapa hari saya tidak menulis, mungkin agak sibuk dengan persediaan peperiksaan yang semakin hampir. Teringin juga jari-jari ini memetik butang key board menulis semula . Tambahan pula semenjak akhir-akhir ini, golongan “mujtahid jadi-jadian” semakin ramai menceburi bidang penulisan ini. Semakin mereka menulis, semakin saya risau melihat masyarakat yang tertipu dengan gaya bahasa yang mereka gunakan seolah-olah menampakkan bahawa mereka benar-benar orang yang berkelayakkan di dalam memperkatakan tentang permasalahan hukum-hakam. Pelbagai pendapat digunakan oleh mereka demi mempertahankan pendapat-pendapat yang boleh kita klasifikasikan sebagai “menegakkan benang yang basah”.
Kalam para ulama Mujtahid yang sering kita dengar seperti :
إذا صح الحديث فهو مذهبي
لا ينبغي لمن لم يعرف دليلي أن يُفتي بكلامي
لا تقلدني و لا تقلد مالكا و لا الأوزاعي و لا غيرهم و خذ الأحكام من حيث أخذوا
Pendapat-pendapat para Imam Mujtahid ini sering disalah gunakan oleh golongan yang gemar mendakwa-dakwi sebegini.Kalam pertama yang bermaksud (( Jika sahih sesebuah hadis maka itulah mazhabku)) digunakan oleh golongan ini dengan mengatakan bahawa, jika kita berjumpa sebuah hadis yang sahih dan mendapati hadis tersebut bertentangan dengan pendapat Imam Mujtahid ( Abu Hanifah, Malik, Syafie dan Ahmad bin Hambal radhiyallahu anhum), maka dahulukan hadis yang sahih kerana ini juga merupakan pendapat sebahagian para Imam tersebut.
Al-Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan di dalam muqaddimah Majmu’ Syarah Muhazzab:
“ Memang benar al-Imam Syafie menyebutkan :
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم و دعوا قولي
Maksudnya: Jika kamu semua (para ulama) mendapati di dalam kitab yang aku tulis menyalahi Sunnah baginda sallallahu alaihi wasallam maka keluarkan pendapat kamu semua dengan Sunnah Baginda sallallahu alaihi wasallam dan tinggalkan pendapatku.”
Al-Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan lagi bahawa: Kata-kata Imam Syafie tersebut bukanlah bermaksud sesiapa sahaja yang menjumpai hadis sahih maka terus mengatakan bahawa ianya merupakan mazhab Imam Syafie itu sendiri.Malah beramal dengan zahir kalam itu semata-mata. Bahkan sebenarnya kalam al-Imam Syafie tersebut ditujukan kepada para ulama yang telah sampai kepada peringkat ijtihad di dalam mazhab seperti yang telah kita sebutkan sebelum ini(rujuk Muqaddimah Majmu’ ). Syarat untuk para yang beramal dengan kalam Imam ini ialah mesti tidak meletakkan sangkaan bahawa al-Imam Syafie radhiyallahuanhu tidak berjumpa dengan hadis ini atau tidak mengetahui bahawa hadis ini tidak Sahih. Syarat ini tidak akan dapat disempurnakan melainkan setelah mengkaji dan mentelaah keseluruhan kitab-kitab karangan al-Imam Syafie , kitab-kitab para ulama Syafieyah yang lain dan yang seumpama dengannya. Inilah merupakan syarat yang agak sukar untuk dipenuhi. Hanya sedikit yang dapat menyempurnakan syarat ini.
Maksud kalam al-Imam Nawawi sangat jelas. Agak menghairankan kita, golongan yang mendakwa kalam al-Imam Syafie kadang-kadang bertentangan dengan hadis ini merupakan dakwaan yang ternyata menyimpang. Bahkan kitab-kitab al-Imam Syafie mereka tidak memahaminya dengan baik (maksudnya memerlukan penguasaan bahasa Arab yang tinggi kerana al-Imam Syafie radhiyallahu anhu merupakan seorang ahli Bahasa Arab yang hebat), apatah lagi membacanya. Ini sepatutnya yang disedari oleh mereka. Tetapi ego dan bodoh sombong yang menyebabkan mereka tidak mahu memahami pendapat ulama sebegini.
Oleh kerana itulah kita katakan, perlu membaca kitab para ulama dengan para alim-ulama yang benar ilmunya, bukan dengan pembacaan secara persendirian tanpa guru yang membimbing. Akan sesat jadinya. Ini asas pertama yang perlu diperbetulkan oleh mereka. Akhir-akhir ini kita melihat mereka juga belajar dengan guru, tetapi guru yang mengajar pula hakikatnya belajar dengan guru yang tidak belajar dengan ulama yang benar ilmunya,bersih pengambilannya serta jauh daripada pendapat-pendapat yang menyalahi jumhur para ulama.
Kata Imam Nawawi lagi menukilkan kata-kata Imam Abu Amru Ibn Salah rahimahumallah:
“Kalam al-Imam Syafie tersebut bukanlah boleh diamalkan dengan zahir luarannya semata-mata,Bukanlah semua ulama yang Faqih (hebat dalam ilmu fiqhnya) beramal secara terus daripada hadis yang dirasakan hujah baginya.”
Kata Imam Abu Amru Ibn Salah lagi:
“ Jika seorang ulama bermazhab Syafie tersebut menjumpai sebuah hadis yang menurutnya bertentangan dengan mazhab yang dipegangnya, Maka perlu dilihat semula kepada keahlian orang tersebut. Jika ulama tersebut telah mencapai peringkat Ijtihad (seperti yang kita sebutkan di dalam keluaran yang lepas) maka tiadalah masalah baginya untuk beramal dengan hadis tersebut. Tetapi jika dia masih tidak mencapai tahap Ijtihad dan menyukarkan baginya menemukan sebab-sebab pertentangan hadis tersebut dengan kalam Imam Mazhab @ Mazhab itu sendiri maka bolehlah baginya beramal dengan hadis tersebut jika terdapat seorang lagi Imam Mujtahid Mutlak selain Imam Syafie(seperti Imam Abu Hanifah , Malik, Ahmad dan lain-lain).”
Kata al-Syeikh Wahbi Sulaiman Ghawuji al-Albani hafizahullah(bukan Syeikh Nasiruddin al-Albani) di dalam risalah kecilnya berkenaan kalam tersebut:
Maksud kalam tersebut ialah: Kata para imam , kalam tersebut ditujukan kepada para ulama yang benar-benar berkelayakkan di dalam mengeluarkan hukum.Mereka(yang dibenarkan) adalah merupakan para ulama yang hebat di dalam ilmu hadis. Ini bermakna, jika sahih sesebuah hadis sahih tersebut yang bertepatan dengan syarat-syarat pengambilan sesebuah hadis dan kaedahnya berdasarkan mazhab yang mereka gunakan , maka gunakan hadis tersebut. Bukannya kalam tersebut menyuruh setiap kali membaca hadis yang sahih maka tinggalkan beramal dengan pendapat imam mazhab.
Sebaliknya golongan yang sering mendakwa-dakwi ini, menggunakan pendapat ini dengan luarannya sahaja, bukan maksud sebenar kalam tersebut.
Al-Imam Malik Radhiyallahuanhu menyebutkan kepada para muridnya(yang merupakan para mujtahid) ketika beliau mengeluarkan pendapat di dalam sesebuah hukum, “ Kamu perlu mengkajinya semula, ini kerana ianya merupakan pegangan agama kita.Tiada seorang pun boleh diterima pendapatnya bulat-bulat tanpa perlu dikritik, melainkan pendapat yang dikeluarkan oleh pemilik Maqam yang mulia ini( mengisyaratkan kepada Saidina Muhammad sallallahu alaihi wasallam).”
Saya ingin bertanya, adakah Imam Malik radhiyallahu anhu bercakap seorang diri ketika tersebut? Atau adakah beliau mengucapkan pendapat tersebut dihadapan orang awam yang tidak mengerti hukum-hakam? Jawapannya tentu tidak sama sekali. Golongan yang dibicarakan oleh al-Imam ialah merupakan kelompok mujtahid. Seolah-olah al-Imam ingin memberitahu kepada murid-muridnya bahawa mereka juga telah sampai kepada peringkat Ijtihad yang tinggi. Syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid telah saya terangkan di dalam keluaran yang lalu. Jika syarat sebegini masih tidak jelas, maka bagaimana seseorang tersebut boleh mengaku bahawa dia juga boleh mengeluarkan hukum terus daripada al-Quran dan Sunnah?
Pendapat kedua yang sering digunakan oleh mereka ialah pendapat yang dikeluarkan oleh al-Imam Abu Hanifah radhiyallahuanhu iaitu :
لا ينبغي لمن لم يعرف دليلي أن يُفتي بكلامي
Maksudnya: Tidak sepatutnya bagi seseorang yang tidak mengetahui dalil yang aku keluarkan untuk berfatwa dengan pendapatku.
Pendapat ini jelas menunjukkan bahawa ianya disebutkan kepada golongan ulama yang benar-benar alim di dalam bidang tersebut. Ini kerana perkataan “ berfatwa” tersebut tidak lain dan tidak bukan semata-mata ditujukan kepada para ulama ahli fatwa,bukannya mujtahid jadi-jadian . Ini perlu difahami dengan baik dan jelas. Perlu juga bagi seseorang tersebut melihat semula kepada syarat-syarat untuk berfatwa yang disusun oleh para ulama . Antara ulama yang menyusun tentang adab-adab fatwa ini ialah al-Imam Abu Qasim al-Soimuri rahimahullah(guru kepada al-Imam Mawardi rahimahullah), al-Imam al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah, dan al-Imam Abu Amru Ibn Salah rahimahullah. Ketiga-tiga kitab ini telah diringkaskan perbahasannya oleh al-Imam Nawawi rahimahullah dan beliau meletakkan perbahasan tersebut di dalam kitabnya Majmu’ Syarah Muhazzab.
Jika kamu membaca semula syarat-syarat berfatwa dan Mufti, tentulah kamu akan menyedari betapa jauhnya jurang sebenar antara kamu (yang suka mendakwa-dakwi sebegini) dengan para ulama yang benar-benar sampai kepada peringkat mengeluarkan fatwa.Malah al-Imam Nawawi sendiri menyebutkan bahawa bidang fatwa adalah merupakan bidang yang sangat merbahaya diceburi tetapi sangat tinggi kelebihannya(bagi yang layak sahaja).
Al-Imam Malik radhiyallahu anhu menyebutkan:
ما أفتيت حتى شهد لي سبعون أني أهل لذلك
Maksudnya: Aku tidak akan berfatwa melainkan selepas disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama bahawa aku benar-benar layak di dalam bidang fatwa ini.
Kalam-kalam sebegini tidak pula dilihat oleh golongan sebegini. Mereka hanya mengambil pendapat-pendapat yang luarannya merupakan suatu kelebihan kepada diri mereka untuk meninggalkan berpegang dengan mazhab itu sendiri. Sedangkan langsung tidak memahami maksud kalam itu sendiri.
Jika kita memahami maksud kalam-kalam yang disebutkan dengan baik maka pendapat Imam Ahmad bin Hambal radhiyallahu anhu juga akan mudah bagi kita memahaminya. Maksudnya Imam Ahmad menyebutkan pendapat tersebut bukanlah untuk orang awam melainkan untuk para ulama yang telah mencapai peringkat Ijtihad.
Al-Allamah Syeikh Muhammad Awwamah hafizahullah menukilkan kalam al-Imam Kairanawi radhiyallahu anhu:
“Maksud sebenar kalam al-Imam Syafie (Jika sahih sesebuah hadis maka itulah Mazhabku) dan kalam ulama yang lain yang menyebutkan sedemikian ialah tidak lain selain ingin menunjukkan kepada kita hakikat bahawa kalam yang menjadi hujjah adalah kalam Baginda sallallahu alaihi wasallam bukannya kalam kami(para Imam Mujtahid).Seolah-olah Imam Syafie ingin mengatakan: Jangan kamu menyangka kalam aku adalah hujjah berbanding kalam Baginda Sallallahu alaihi wasallam dan aku juga berserah kepada Allah jika pendapat yang aku sebutkan bertentangan dengan Sabda Baginda sallallahu alaihi wasallam.”
Hakikatnya, kalam al-Imam Syafie radhiyallahu anhu adalah merupakan sifat tawaddhuk yang ada pada beliau. Mustahil seseorang Imam tersebut akan mengeluarkan sesuatu hukum dengan hawa nafsunya melainkan setelah dikaji secara terperinci dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya dan iman yang mendalam.
Oleh sebab itulah al-Imam Ibn Uyainah Radhiyallahuanhu menyebutkan:
الحديث مضلة إلا للفقهاء
Maksudnya: Hadis adalah sesuatu yang mampu menyesatkan seseorang (yang tidak memahaminya) melainkan kepada para fuqaha(ulama).
Al-Imam Ibn Hajar al-Haitami radhiyallahu anhu menerangkan maksud sebenar kalam al-Imam Ibn Uyainah radhiyallahu anhu di dalam kitabnya Fatawa Hadisiah mukasurat 521:
“Maksud kalam tersebut ialah Hadis adalah seumpama al-Quran yang mana ianya terkadang merupakan lafaz umum tetapi maknanya khusus, ianyanya juga terdapat Nasakh dan Mansukh, terdapat juga hadis yang tidak diamalkan, dan sebahagiannya jika dipegang dengan zahir maka akan menjadi masalah seperti hadis ينزل ربنا (Allah turun ke Langit pertama disepertiga malam). Jadi maksud sebenar sesebuah hadis tidak akan difahami melainkan diterangkan oleh para ulama.Ini berbeza dengan orang yang tidak mengetahui maksud sebenar hadis tersebut melainkan zahirnya semata-mata, maka akan tersesat jadinya seperti yang berlaku kepada sebahagian ulama terdahulu dan terkemudian seperti Ibn Taimiyah dan pengikutnya”
Bagi menentukan sesebuah hadis sahih tersebut bertentangan dengan pendapat Imam Mazhab maka perlu bagi mereka-mereka yang berkata sedemikian mempunyai dua perkara:
1. Kuat sangkaannya bahawa Sang Imam tidak menemukan hadis yang dia temui.
2. Orang yang mengatakan sedemikian mestilah seorang yang benar-benar pakar di dalam ilmu rijal Hadis, Matan Hadis, cara-cara berhujah dengan hadis, dan cara mengeluarkan hukum daripada hadis tersebut berdasarkan kaedah yang diletakkan oleh mazhab.
Terdapat 4 marhalah (peringkat ) bagi menentukan adakah benar seseorang tersebut benar-benar pakar di dalam Ilmu hadis.(Marhalah ini saya petik secara ringkas daripada risalah al-Syeikh Wahbi Sulaiman Ghawuji al-Albani hafizahullah ):
Peringkat pertama
Di dalam peringkat ini seseorang tersebut perlulah mengetahui kedudukan perawi hadis tersebut samaada ianya Thiqah, Saduq dan sebagainya. Serta perlu juga memerhatikan hafalan dan kekuatan ingatan perawi tersebut.Perlu mengetahui tentang martabat thiqah, tempat mana yang perlu didahulukan jarah dan ta’dil(nama ilmu di dalam Mustalah Hadis bagi menentukan darjat seorang perawi).Mengetahui tentang bilakah tarikh perawi tersebut meninggal duni dan dari manakah asalnya dan sebagainya. Pendek kata kesemua ilmu yang diterangkan di dalam kitab Mustalah Hadis perlu diketahui secara lumat dan mendalam oleh seseorang tersebut.
Peringkat kedua
Peringkat ini lebih sukar daripada sebelumnya.Setelah seseorang tersebut mengetahui secara mendalam tentang mustalah hadis tersebut maka perlu pula baginya untuk mengkaji secara teliti dan mendalam hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Sihah, Sunan, Musnad, Jawami’, Mu’jam, al-Ajza’dan lain-lain kitab hadis bagi mencari sesebuah hadis tersebut adakah benar-benar bertentangan dengan pendapat sang Imam. Perlu juga baginya untuk mengetahui adakah hadis tersebut Mutawatir, Masyhur dan sebagainya. Perlu juga baginya mengetahui adakah hadis tersebut Syaz atau mungkar . Perlu juga baginya mengetahui adakah hadis tersebut marfu’, mauquf atau maqtu’.
Oleh sebab itulah al-Imam Abu Hatim al-Razi rahimahullah menyebutkan:
“ Tidaklah seseorang tersebut dikatakan benar-benar pakar di dalam bidang hadis melainkan setelah kami (para ulama hadis )menulis hadis tersebut dengan 60 keadaan dan dia mampu menerangkan satu persatu hadis-hadis tersebut tentang hukumnya sama ada Syaz, Mungkar, Ma’ruf, Mutawatir, Marfu’, Mauquf, Fard dan Masyhur.”
Peringkat ketiga
Peringkat ini lebih sukar daripada kedua-dua peringkat di atas. Setelah benar-benar melalui kedua-dua peringkat tersebut, maka seseorang tersebut perlulah melihat sama ada hadis yang dikajinya terdapat illah(kecacatan) atau tidak. Illah yang tersembunyi menurut para ulama hadis adalah yang paling sukar ditemukan melainkan oleh ulama-ulama yang benar-benar pakar di dalam ilmu hadis. Ini diketahui dengan jelas oleh sesiapa yang mempelajari ilmu hadis dengan baik.
Peringkat keempat
Peringkat ini adalah yang paling sukar ditemukan melainkan para Mujtahid yang sampai ke peringkat mutlak. Ramai ulama hadis yang sukar mencapai peringkat ini walaupun mereka sudah mencapai ketiga-tiga peringkat sebelum ini. Walaupun mereka menghafal hadis tersebut dan mengetahui segalanya tentang ilmu hadis , tetapi di dalam permasalahan hukum hakam tetap mereka serahkan kepada para fuqaha.
Kerana itulah al-Imam al-A’mash radhiyallahu anhu menyebutkan kepada al-Imam Abu Hanifah radhiyallahu anhu:
يا معشر الفقهاء, أنتم الأطباء ونحن الصيادلة و أنت أيها الرجل أخذت بكلا الطرفين
Maksudnya: Wahai para fuqaha, kamu adalah doktor yang mengetahui tentang ubat sesuatu penyakit, manakala kami para muhaddith (ulama hadis) merupakan pemilik ubat tersebut.Manakala kamu wahai lelaki( Imam Abu Hanifah ) , kedua-duanya kamu miliki (sebagai seorang doktor dan sebagai seorang pemilik farmasi).
Maksud kalam al-Imam al-A’mash tersebut ialah para fuqaha mengetahui di manakah sumber pengambilan hukum bagi menyelesaikan sesuatu permasalahan, manakala para muhaddis akan membekalkan hadis-hadis sebagai sumber pengambilan hukum tersebut. Manakala al-Imam Abu Hanifah radhiyallahu anhu mempunyai kepakaran di dalam kedua-dua bidang tersebut(iaitu hadis dan fiqh).
Kesimpulan
Setelah kita perhatikan dan baca dengan teliti perbahasan yang saya tulis ini,jelas lagi bersuluh bahawa menghukumkan sesuatu dengan zahir hadis yang kamu(golongan wahabi) rasakan bahawa ianya bertentangan dengan kalam Imam merupakan suatu tohmahan yang tidak berasas dan tidak mengikut jalur pengajian dan pengkajian yang baik. Perbahasan yang saya buat ini mungkin agak berat bagi sesiapa yang tidak mengetahui istilah-istilah yang digunakan. Jika ada masa, saya akan menerangkannya selepas ini. Tetapi jika “ para mujtahid jadi-jadian” tidak memahaminya maka jelaslah, kamu semua tidak mencapai lagi serendah-rendah martabat tersebut. Maka perlu beristghfar dan memohon keampunan di atas keterlanjuran dan keegoan yang terdapat di dalam diri kamu. Kamu sering mengatakan bahawa kami tidak menggunakan pendapat para ulama mu’tabar. Sila datangkan bukti dan sila sebutkan siapakah ulama-ulama mu’tabar yang meyokong pendapat kamu. Saya menantikan hujah kalian semua.
Sebagai peringatan, jika tidak memahami dengan baik, jangan memandai-mandai ingin mencelah dan menolaknya. Jika ingin menolak hujah yang saya kemukakan datangkan dalil berserta hujah yang ingin kamu kemukakan seperti yang selalu kamu lakukan. Wallallahu a’lam.
Rujukan:
1. Majmu’ Syarah Muhazzab oleh al-Imam Nawawi rahimahullah tahqiq Syeikh al-Allamah Najib Muti’ie .Cetakan Darul A’lam Kutub
2. Risalah إذا صح الحديث فهو مذهبي oleh Syeikh al-Allamah Wahbi Sulaiman Ghawuji al-Albani al-Hanafi hafizahullah.Cetakan Darul Iqra’.Cetakan Pertama 2005.
3. Fatawa Hadisiah oleh al-Imam Ibn Hajar al-Haitami rahimahullah .Cetakan Darul Taqwa.
MOHD NAZRUL ABD NASIR,
RUMAH KEDAH,
KAHERAH,MESIR
Sumber : http://nazrulnasir.blogspot.com/2009/05/perbahasan-berkenaan.html
Oleh : Ustaz Nazrul Nasir
Beberapa hari saya tidak menulis, mungkin agak sibuk dengan persediaan peperiksaan yang semakin hampir. Teringin juga jari-jari ini memetik butang key board menulis semula . Tambahan pula semenjak akhir-akhir ini, golongan “mujtahid jadi-jadian” semakin ramai menceburi bidang penulisan ini. Semakin mereka menulis, semakin saya risau melihat masyarakat yang tertipu dengan gaya bahasa yang mereka gunakan seolah-olah menampakkan bahawa mereka benar-benar orang yang berkelayakkan di dalam memperkatakan tentang permasalahan hukum-hakam. Pelbagai pendapat digunakan oleh mereka demi mempertahankan pendapat-pendapat yang boleh kita klasifikasikan sebagai “menegakkan benang yang basah”.
Kalam para ulama Mujtahid yang sering kita dengar seperti :
إذا صح الحديث فهو مذهبي
لا ينبغي لمن لم يعرف دليلي أن يُفتي بكلامي
لا تقلدني و لا تقلد مالكا و لا الأوزاعي و لا غيرهم و خذ الأحكام من حيث أخذوا
Pendapat-pendapat para Imam Mujtahid ini sering disalah gunakan oleh golongan yang gemar mendakwa-dakwi sebegini.Kalam pertama yang bermaksud (( Jika sahih sesebuah hadis maka itulah mazhabku)) digunakan oleh golongan ini dengan mengatakan bahawa, jika kita berjumpa sebuah hadis yang sahih dan mendapati hadis tersebut bertentangan dengan pendapat Imam Mujtahid ( Abu Hanifah, Malik, Syafie dan Ahmad bin Hambal radhiyallahu anhum), maka dahulukan hadis yang sahih kerana ini juga merupakan pendapat sebahagian para Imam tersebut.
Al-Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan di dalam muqaddimah Majmu’ Syarah Muhazzab:
“ Memang benar al-Imam Syafie menyebutkan :
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم و دعوا قولي
Maksudnya: Jika kamu semua (para ulama) mendapati di dalam kitab yang aku tulis menyalahi Sunnah baginda sallallahu alaihi wasallam maka keluarkan pendapat kamu semua dengan Sunnah Baginda sallallahu alaihi wasallam dan tinggalkan pendapatku.”
Al-Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan lagi bahawa: Kata-kata Imam Syafie tersebut bukanlah bermaksud sesiapa sahaja yang menjumpai hadis sahih maka terus mengatakan bahawa ianya merupakan mazhab Imam Syafie itu sendiri.Malah beramal dengan zahir kalam itu semata-mata. Bahkan sebenarnya kalam al-Imam Syafie tersebut ditujukan kepada para ulama yang telah sampai kepada peringkat ijtihad di dalam mazhab seperti yang telah kita sebutkan sebelum ini(rujuk Muqaddimah Majmu’ ). Syarat untuk para yang beramal dengan kalam Imam ini ialah mesti tidak meletakkan sangkaan bahawa al-Imam Syafie radhiyallahuanhu tidak berjumpa dengan hadis ini atau tidak mengetahui bahawa hadis ini tidak Sahih. Syarat ini tidak akan dapat disempurnakan melainkan setelah mengkaji dan mentelaah keseluruhan kitab-kitab karangan al-Imam Syafie , kitab-kitab para ulama Syafieyah yang lain dan yang seumpama dengannya. Inilah merupakan syarat yang agak sukar untuk dipenuhi. Hanya sedikit yang dapat menyempurnakan syarat ini.
Maksud kalam al-Imam Nawawi sangat jelas. Agak menghairankan kita, golongan yang mendakwa kalam al-Imam Syafie kadang-kadang bertentangan dengan hadis ini merupakan dakwaan yang ternyata menyimpang. Bahkan kitab-kitab al-Imam Syafie mereka tidak memahaminya dengan baik (maksudnya memerlukan penguasaan bahasa Arab yang tinggi kerana al-Imam Syafie radhiyallahu anhu merupakan seorang ahli Bahasa Arab yang hebat), apatah lagi membacanya. Ini sepatutnya yang disedari oleh mereka. Tetapi ego dan bodoh sombong yang menyebabkan mereka tidak mahu memahami pendapat ulama sebegini.
Oleh kerana itulah kita katakan, perlu membaca kitab para ulama dengan para alim-ulama yang benar ilmunya, bukan dengan pembacaan secara persendirian tanpa guru yang membimbing. Akan sesat jadinya. Ini asas pertama yang perlu diperbetulkan oleh mereka. Akhir-akhir ini kita melihat mereka juga belajar dengan guru, tetapi guru yang mengajar pula hakikatnya belajar dengan guru yang tidak belajar dengan ulama yang benar ilmunya,bersih pengambilannya serta jauh daripada pendapat-pendapat yang menyalahi jumhur para ulama.
Kata Imam Nawawi lagi menukilkan kata-kata Imam Abu Amru Ibn Salah rahimahumallah:
“Kalam al-Imam Syafie tersebut bukanlah boleh diamalkan dengan zahir luarannya semata-mata,Bukanlah semua ulama yang Faqih (hebat dalam ilmu fiqhnya) beramal secara terus daripada hadis yang dirasakan hujah baginya.”
Kata Imam Abu Amru Ibn Salah lagi:
“ Jika seorang ulama bermazhab Syafie tersebut menjumpai sebuah hadis yang menurutnya bertentangan dengan mazhab yang dipegangnya, Maka perlu dilihat semula kepada keahlian orang tersebut. Jika ulama tersebut telah mencapai peringkat Ijtihad (seperti yang kita sebutkan di dalam keluaran yang lepas) maka tiadalah masalah baginya untuk beramal dengan hadis tersebut. Tetapi jika dia masih tidak mencapai tahap Ijtihad dan menyukarkan baginya menemukan sebab-sebab pertentangan hadis tersebut dengan kalam Imam Mazhab @ Mazhab itu sendiri maka bolehlah baginya beramal dengan hadis tersebut jika terdapat seorang lagi Imam Mujtahid Mutlak selain Imam Syafie(seperti Imam Abu Hanifah , Malik, Ahmad dan lain-lain).”
Kata al-Syeikh Wahbi Sulaiman Ghawuji al-Albani hafizahullah(bukan Syeikh Nasiruddin al-Albani) di dalam risalah kecilnya berkenaan kalam tersebut:
Maksud kalam tersebut ialah: Kata para imam , kalam tersebut ditujukan kepada para ulama yang benar-benar berkelayakkan di dalam mengeluarkan hukum.Mereka(yang dibenarkan) adalah merupakan para ulama yang hebat di dalam ilmu hadis. Ini bermakna, jika sahih sesebuah hadis sahih tersebut yang bertepatan dengan syarat-syarat pengambilan sesebuah hadis dan kaedahnya berdasarkan mazhab yang mereka gunakan , maka gunakan hadis tersebut. Bukannya kalam tersebut menyuruh setiap kali membaca hadis yang sahih maka tinggalkan beramal dengan pendapat imam mazhab.
Sebaliknya golongan yang sering mendakwa-dakwi ini, menggunakan pendapat ini dengan luarannya sahaja, bukan maksud sebenar kalam tersebut.
Al-Imam Malik Radhiyallahuanhu menyebutkan kepada para muridnya(yang merupakan para mujtahid) ketika beliau mengeluarkan pendapat di dalam sesebuah hukum, “ Kamu perlu mengkajinya semula, ini kerana ianya merupakan pegangan agama kita.Tiada seorang pun boleh diterima pendapatnya bulat-bulat tanpa perlu dikritik, melainkan pendapat yang dikeluarkan oleh pemilik Maqam yang mulia ini( mengisyaratkan kepada Saidina Muhammad sallallahu alaihi wasallam).”
Saya ingin bertanya, adakah Imam Malik radhiyallahu anhu bercakap seorang diri ketika tersebut? Atau adakah beliau mengucapkan pendapat tersebut dihadapan orang awam yang tidak mengerti hukum-hakam? Jawapannya tentu tidak sama sekali. Golongan yang dibicarakan oleh al-Imam ialah merupakan kelompok mujtahid. Seolah-olah al-Imam ingin memberitahu kepada murid-muridnya bahawa mereka juga telah sampai kepada peringkat Ijtihad yang tinggi. Syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid telah saya terangkan di dalam keluaran yang lalu. Jika syarat sebegini masih tidak jelas, maka bagaimana seseorang tersebut boleh mengaku bahawa dia juga boleh mengeluarkan hukum terus daripada al-Quran dan Sunnah?
Pendapat kedua yang sering digunakan oleh mereka ialah pendapat yang dikeluarkan oleh al-Imam Abu Hanifah radhiyallahuanhu iaitu :
لا ينبغي لمن لم يعرف دليلي أن يُفتي بكلامي
Maksudnya: Tidak sepatutnya bagi seseorang yang tidak mengetahui dalil yang aku keluarkan untuk berfatwa dengan pendapatku.
Pendapat ini jelas menunjukkan bahawa ianya disebutkan kepada golongan ulama yang benar-benar alim di dalam bidang tersebut. Ini kerana perkataan “ berfatwa” tersebut tidak lain dan tidak bukan semata-mata ditujukan kepada para ulama ahli fatwa,bukannya mujtahid jadi-jadian . Ini perlu difahami dengan baik dan jelas. Perlu juga bagi seseorang tersebut melihat semula kepada syarat-syarat untuk berfatwa yang disusun oleh para ulama . Antara ulama yang menyusun tentang adab-adab fatwa ini ialah al-Imam Abu Qasim al-Soimuri rahimahullah(guru kepada al-Imam Mawardi rahimahullah), al-Imam al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah, dan al-Imam Abu Amru Ibn Salah rahimahullah. Ketiga-tiga kitab ini telah diringkaskan perbahasannya oleh al-Imam Nawawi rahimahullah dan beliau meletakkan perbahasan tersebut di dalam kitabnya Majmu’ Syarah Muhazzab.
Jika kamu membaca semula syarat-syarat berfatwa dan Mufti, tentulah kamu akan menyedari betapa jauhnya jurang sebenar antara kamu (yang suka mendakwa-dakwi sebegini) dengan para ulama yang benar-benar sampai kepada peringkat mengeluarkan fatwa.Malah al-Imam Nawawi sendiri menyebutkan bahawa bidang fatwa adalah merupakan bidang yang sangat merbahaya diceburi tetapi sangat tinggi kelebihannya(bagi yang layak sahaja).
Al-Imam Malik radhiyallahu anhu menyebutkan:
ما أفتيت حتى شهد لي سبعون أني أهل لذلك
Maksudnya: Aku tidak akan berfatwa melainkan selepas disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama bahawa aku benar-benar layak di dalam bidang fatwa ini.
Kalam-kalam sebegini tidak pula dilihat oleh golongan sebegini. Mereka hanya mengambil pendapat-pendapat yang luarannya merupakan suatu kelebihan kepada diri mereka untuk meninggalkan berpegang dengan mazhab itu sendiri. Sedangkan langsung tidak memahami maksud kalam itu sendiri.
Jika kita memahami maksud kalam-kalam yang disebutkan dengan baik maka pendapat Imam Ahmad bin Hambal radhiyallahu anhu juga akan mudah bagi kita memahaminya. Maksudnya Imam Ahmad menyebutkan pendapat tersebut bukanlah untuk orang awam melainkan untuk para ulama yang telah mencapai peringkat Ijtihad.
Al-Allamah Syeikh Muhammad Awwamah hafizahullah menukilkan kalam al-Imam Kairanawi radhiyallahu anhu:
“Maksud sebenar kalam al-Imam Syafie (Jika sahih sesebuah hadis maka itulah Mazhabku) dan kalam ulama yang lain yang menyebutkan sedemikian ialah tidak lain selain ingin menunjukkan kepada kita hakikat bahawa kalam yang menjadi hujjah adalah kalam Baginda sallallahu alaihi wasallam bukannya kalam kami(para Imam Mujtahid).Seolah-olah Imam Syafie ingin mengatakan: Jangan kamu menyangka kalam aku adalah hujjah berbanding kalam Baginda Sallallahu alaihi wasallam dan aku juga berserah kepada Allah jika pendapat yang aku sebutkan bertentangan dengan Sabda Baginda sallallahu alaihi wasallam.”
Hakikatnya, kalam al-Imam Syafie radhiyallahu anhu adalah merupakan sifat tawaddhuk yang ada pada beliau. Mustahil seseorang Imam tersebut akan mengeluarkan sesuatu hukum dengan hawa nafsunya melainkan setelah dikaji secara terperinci dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya dan iman yang mendalam.
Oleh sebab itulah al-Imam Ibn Uyainah Radhiyallahuanhu menyebutkan:
الحديث مضلة إلا للفقهاء
Maksudnya: Hadis adalah sesuatu yang mampu menyesatkan seseorang (yang tidak memahaminya) melainkan kepada para fuqaha(ulama).
Al-Imam Ibn Hajar al-Haitami radhiyallahu anhu menerangkan maksud sebenar kalam al-Imam Ibn Uyainah radhiyallahu anhu di dalam kitabnya Fatawa Hadisiah mukasurat 521:
“Maksud kalam tersebut ialah Hadis adalah seumpama al-Quran yang mana ianya terkadang merupakan lafaz umum tetapi maknanya khusus, ianyanya juga terdapat Nasakh dan Mansukh, terdapat juga hadis yang tidak diamalkan, dan sebahagiannya jika dipegang dengan zahir maka akan menjadi masalah seperti hadis ينزل ربنا (Allah turun ke Langit pertama disepertiga malam). Jadi maksud sebenar sesebuah hadis tidak akan difahami melainkan diterangkan oleh para ulama.Ini berbeza dengan orang yang tidak mengetahui maksud sebenar hadis tersebut melainkan zahirnya semata-mata, maka akan tersesat jadinya seperti yang berlaku kepada sebahagian ulama terdahulu dan terkemudian seperti Ibn Taimiyah dan pengikutnya”
Bagi menentukan sesebuah hadis sahih tersebut bertentangan dengan pendapat Imam Mazhab maka perlu bagi mereka-mereka yang berkata sedemikian mempunyai dua perkara:
1. Kuat sangkaannya bahawa Sang Imam tidak menemukan hadis yang dia temui.
2. Orang yang mengatakan sedemikian mestilah seorang yang benar-benar pakar di dalam ilmu rijal Hadis, Matan Hadis, cara-cara berhujah dengan hadis, dan cara mengeluarkan hukum daripada hadis tersebut berdasarkan kaedah yang diletakkan oleh mazhab.
Terdapat 4 marhalah (peringkat ) bagi menentukan adakah benar seseorang tersebut benar-benar pakar di dalam Ilmu hadis.(Marhalah ini saya petik secara ringkas daripada risalah al-Syeikh Wahbi Sulaiman Ghawuji al-Albani hafizahullah ):
Peringkat pertama
Di dalam peringkat ini seseorang tersebut perlulah mengetahui kedudukan perawi hadis tersebut samaada ianya Thiqah, Saduq dan sebagainya. Serta perlu juga memerhatikan hafalan dan kekuatan ingatan perawi tersebut.Perlu mengetahui tentang martabat thiqah, tempat mana yang perlu didahulukan jarah dan ta’dil(nama ilmu di dalam Mustalah Hadis bagi menentukan darjat seorang perawi).Mengetahui tentang bilakah tarikh perawi tersebut meninggal duni dan dari manakah asalnya dan sebagainya. Pendek kata kesemua ilmu yang diterangkan di dalam kitab Mustalah Hadis perlu diketahui secara lumat dan mendalam oleh seseorang tersebut.
Peringkat kedua
Peringkat ini lebih sukar daripada sebelumnya.Setelah seseorang tersebut mengetahui secara mendalam tentang mustalah hadis tersebut maka perlu pula baginya untuk mengkaji secara teliti dan mendalam hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Sihah, Sunan, Musnad, Jawami’, Mu’jam, al-Ajza’dan lain-lain kitab hadis bagi mencari sesebuah hadis tersebut adakah benar-benar bertentangan dengan pendapat sang Imam. Perlu juga baginya untuk mengetahui adakah hadis tersebut Mutawatir, Masyhur dan sebagainya. Perlu juga baginya mengetahui adakah hadis tersebut Syaz atau mungkar . Perlu juga baginya mengetahui adakah hadis tersebut marfu’, mauquf atau maqtu’.
Oleh sebab itulah al-Imam Abu Hatim al-Razi rahimahullah menyebutkan:
“ Tidaklah seseorang tersebut dikatakan benar-benar pakar di dalam bidang hadis melainkan setelah kami (para ulama hadis )menulis hadis tersebut dengan 60 keadaan dan dia mampu menerangkan satu persatu hadis-hadis tersebut tentang hukumnya sama ada Syaz, Mungkar, Ma’ruf, Mutawatir, Marfu’, Mauquf, Fard dan Masyhur.”
Peringkat ketiga
Peringkat ini lebih sukar daripada kedua-dua peringkat di atas. Setelah benar-benar melalui kedua-dua peringkat tersebut, maka seseorang tersebut perlulah melihat sama ada hadis yang dikajinya terdapat illah(kecacatan) atau tidak. Illah yang tersembunyi menurut para ulama hadis adalah yang paling sukar ditemukan melainkan oleh ulama-ulama yang benar-benar pakar di dalam ilmu hadis. Ini diketahui dengan jelas oleh sesiapa yang mempelajari ilmu hadis dengan baik.
Peringkat keempat
Peringkat ini adalah yang paling sukar ditemukan melainkan para Mujtahid yang sampai ke peringkat mutlak. Ramai ulama hadis yang sukar mencapai peringkat ini walaupun mereka sudah mencapai ketiga-tiga peringkat sebelum ini. Walaupun mereka menghafal hadis tersebut dan mengetahui segalanya tentang ilmu hadis , tetapi di dalam permasalahan hukum hakam tetap mereka serahkan kepada para fuqaha.
Kerana itulah al-Imam al-A’mash radhiyallahu anhu menyebutkan kepada al-Imam Abu Hanifah radhiyallahu anhu:
يا معشر الفقهاء, أنتم الأطباء ونحن الصيادلة و أنت أيها الرجل أخذت بكلا الطرفين
Maksudnya: Wahai para fuqaha, kamu adalah doktor yang mengetahui tentang ubat sesuatu penyakit, manakala kami para muhaddith (ulama hadis) merupakan pemilik ubat tersebut.Manakala kamu wahai lelaki( Imam Abu Hanifah ) , kedua-duanya kamu miliki (sebagai seorang doktor dan sebagai seorang pemilik farmasi).
Maksud kalam al-Imam al-A’mash tersebut ialah para fuqaha mengetahui di manakah sumber pengambilan hukum bagi menyelesaikan sesuatu permasalahan, manakala para muhaddis akan membekalkan hadis-hadis sebagai sumber pengambilan hukum tersebut. Manakala al-Imam Abu Hanifah radhiyallahu anhu mempunyai kepakaran di dalam kedua-dua bidang tersebut(iaitu hadis dan fiqh).
Kesimpulan
Setelah kita perhatikan dan baca dengan teliti perbahasan yang saya tulis ini,jelas lagi bersuluh bahawa menghukumkan sesuatu dengan zahir hadis yang kamu(golongan wahabi) rasakan bahawa ianya bertentangan dengan kalam Imam merupakan suatu tohmahan yang tidak berasas dan tidak mengikut jalur pengajian dan pengkajian yang baik. Perbahasan yang saya buat ini mungkin agak berat bagi sesiapa yang tidak mengetahui istilah-istilah yang digunakan. Jika ada masa, saya akan menerangkannya selepas ini. Tetapi jika “ para mujtahid jadi-jadian” tidak memahaminya maka jelaslah, kamu semua tidak mencapai lagi serendah-rendah martabat tersebut. Maka perlu beristghfar dan memohon keampunan di atas keterlanjuran dan keegoan yang terdapat di dalam diri kamu. Kamu sering mengatakan bahawa kami tidak menggunakan pendapat para ulama mu’tabar. Sila datangkan bukti dan sila sebutkan siapakah ulama-ulama mu’tabar yang meyokong pendapat kamu. Saya menantikan hujah kalian semua.
Sebagai peringatan, jika tidak memahami dengan baik, jangan memandai-mandai ingin mencelah dan menolaknya. Jika ingin menolak hujah yang saya kemukakan datangkan dalil berserta hujah yang ingin kamu kemukakan seperti yang selalu kamu lakukan. Wallallahu a’lam.
Rujukan:
1. Majmu’ Syarah Muhazzab oleh al-Imam Nawawi rahimahullah tahqiq Syeikh al-Allamah Najib Muti’ie .Cetakan Darul A’lam Kutub
2. Risalah إذا صح الحديث فهو مذهبي oleh Syeikh al-Allamah Wahbi Sulaiman Ghawuji al-Albani al-Hanafi hafizahullah.Cetakan Darul Iqra’.Cetakan Pertama 2005.
3. Fatawa Hadisiah oleh al-Imam Ibn Hajar al-Haitami rahimahullah .Cetakan Darul Taqwa.
MOHD NAZRUL ABD NASIR,
RUMAH KEDAH,
KAHERAH,MESIR
Sumber : http://nazrulnasir.blogspot.com/2009/05/perbahasan-berkenaan.html
Ahad, 4 September 2011
PERMATA YANG HILANG DI BUMI KELANTAN
Tepat jam 1300 (30 Ogos 2011M / 01 Syawal 1432H Selasa),lenyap dan hilanglah satu permata yang menyinari Kelantan secara khususnya dan Malaysia umumnya.Pemergian Tuan Guru Haji Hashim Bin Abu Bakar merupakan satu kehilangan yang tiada penggantinya buat semua.Dijangkakan KDYMM Tuanku Sultan Kelantan bersama Menteri Besar Kelantan akan hadir dalam upacara sembahyang jenazah dan pengkebumian..
Sayyidina Abu Darda' meriwayatkan satu hadis tentang pemergian seorang ulama' itu merupakan satu kecacatan bagi kita:
"Meninggalnya seorang 'alim itu adalah satu musibah yang tidak dapat dipulihkan dan kekurangan yang tidak dapat ditampal.Meninggalnya seorang alim umpama bintang yang hilang sinarnya.Meninggalnya satu kelompok manusia jauh lebih ringan daripada meninggalnya seorang alim."
(Riwayat Abu Daud,Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)
Perginya seorang ulama, bererti hilanglah sebahagian ilmu, Abdullah bin ‘Amr bin Ash meriwayatkan sebuah hadits:
"Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan (menghilangkan) akan ilmu itu dengan sekaligus dari (dada) hamba-hambaNya. Tetapi Allah Ta’ala menghilangkan ilmu itu dengan mematikan alim-ulama sehingga apabila tidak tertinggal satu orang alimpun, manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang bodoh, maka tatkala mereka ditanya (tentang masalah agama), lalu mereka akan berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan."
(Hadits riwayat al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidhi dan Ibn Majah)
Tok Guru meraikan & mendoakan tetamu yang datang ke rumahnya.
Wafatnya ulama, bererti hilanglah satu bintang yang menjadi petunjuk kepada umat, terlebih lagilah ulama dari kalangan ahlulbait. Mereka seumpama bintang dilangit yang menjadi petunjuk kepada para pengembara, maka apabila mereka tiada, pengembara kan hilang pedoman dan langit menjadi suram tiada tidak berseri.
Daripada Anas bin Malik رضي الله عنه katanya: Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda (maksudnya): Sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi ini adalah seperti bintang-bintang yang dijadikan petunjuk di dalam kegelapan-kegelapan darat dan lautan, apabila bintang-bintang ini sirna di antara kegelapan-kegelapan tadi, maka sudah tentu para penunjuk jalan akan berhadapan dengan kesesatan jalan
[Hadis riwayat Imam Ahmad]
KDYMM Tuanku Sultan Kelantan & Tok Guru
Dinyatakan dalam kitab Ittihaf As-Sadah Al-Muttaqin 'Ala Syarh Ihya' Ulumuddin karangan Al-Allamah Sayyid Murtadha Az-Zubaidi bahawa kewafatan ulama' itu ditangisi penduduk bumi seperti binatang,tumbuhan dan lain-lain.Hal ini kerana Ulama'lah yang mengajarkan manusia hukum-hukum berburu,menyuruh manusia berlaku Ihsan dengan setiap makhluk Allah.
Tujuan penulisan ini hanyalah kerana berpegang dengan hadis Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم daripada Sayyidina Abdullah Bin Umar:
"Tuturkanlah kebaikan-kebaikan orang yang wafat dari kalangan kamu dan tahanlah diri kalian daripada menuturkan kejahatan mereka."
[Hadits riwayat Abu Daud,Al-Hakim dan al-Baihaqi]Ditambah pula beliau merupakan seorang ulama' besar.
Syeikh Nuruddin & Tok Guru
Habib Umar & Tok Guru
Qaddasallahu sirrahu wa nawwara darihahu wa hasyarahu ma'a assolihin.
Sumber: http://al-yaakubi.blogspot.com/2011/08/permata-yang-hilang-di-bumi-kelantan.html
Rabu, 16 Mac 2011
Adakah Sifat 20 Dari Falsafah Greek?
Berkata Al-Fadhil Muhyiddin Muhammad Ghazali ibn Haji 'Abdullah, di dalam kitabnya "Risalah Panduan Sifat Dua Puluh" halaman 2, iaitu:
Adapun sebahagian pelajaran di zaman sekarang ini mengatakan bahawa sifat dua puluh itu adalah Falsafah Greek. Maka perkataan itu adalah keluar daripada perkataan orang yang terpengaruh dengan kebesaran dunia dan kemegahan dunia, jangan terpedaya dengan perkataan itu, itulah dia dajjal zamani namanya.
Adapun sebahagian pelajaran di zaman sekarang ini mengatakan bahawa sifat dua puluh itu adalah Falsafah Greek. Maka perkataan itu adalah keluar daripada perkataan orang yang terpengaruh dengan kebesaran dunia dan kemegahan dunia, jangan terpedaya dengan perkataan itu, itulah dia dajjal zamani namanya.
Rabu, 12 Januari 2011
Syeikh Jalaluddin Al-Asyi memberikan peringatan, katanya:-
“Ingat-ingat kiranya yang memberi fatwa, maka adalah bahaya yang besar pada memberi fatwa itu belum lagi tahqiq sesuatu masalah daripada hadis, dan dalil, atau daripada kitab segala ulama. Maka janganlah difatwakan sekali-kali akan dia ...”
Langgan:
Catatan (Atom)